Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-011550.99/2024/PP/M.IXA Tahun 2025 menghadirkan preseden penting dalam penegakan hukum perpajakan di Indonesia, khususnya mengenai posisi hukum PPh Pasal 25 dalam kerangka self-assessment. Sengketa ini melibatkan PT AH, yang menggugat keputusan DJP terkait penolakan pembatalan pokok pajak dalam Surat Tagihan Pajak (STP) PPh Pasal 25 Masa Juni 2023. Permasalahan bermula ketika Wajib Pajak menerima STP dengan pokok pajak sebesar Rp346.776.033,00, yang dianggap kurang disetor akibat pembetulan SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2022. Meskipun demikian, Wajib Pajak berpendapat bahwa seluruh kewajiban pajak Tahun Pajak 2023 telah dilunasi melalui penyetoran PPh Pasal 29, sehingga tidak ada utang pajak yang merugikan negara.
Inti sengketa ini terletak pada perbedaan penafsiran mengenai sifat PPh Pasal 25. DJP berpandangan bahwa angsuran PPh Pasal 25 merupakan kewajiban formal bulanan yang harus dibayar tepat waktu sebagaimana diatur dalam KEP-537/PJ/2000. Oleh karena itu, kekurangan pembayaran dapat diterbitkan STP sesuai Pasal 14 UU KUP, tanpa memandang apakah PPh terutang tahunan telah dilunasi. Di sisi lain, Penggugat berargumen bahwa PPh Pasal 25 bukanlah pajak terutang, melainkan hanya agen pemungutan di muka atau kredit pajak, yang fungsinya membantu Wajib Pajak menyicil pajak akhir tahun. Pajak yang benar-benar terutang baru ditentukan pada akhir tahun pajak sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12 UU KUP, sehingga pembayaran PPh Pasal 29 menjadi bukti bahwa kewajiban substansial telah dipenuhi.
Dalam mempertimbangkan perkara ini, Majelis Hakim memilih untuk menempatkan substansi di atas formalitas. Majelis menegaskan bahwa sesuai Pasal 12 UU KUP, PPh baru terutang pada akhir tahun pajak. Dengan demikian, angsuran Pasal 25 tidak dapat diperlakukan sebagai pajak terutang yang berdiri sendiri. Ketika Wajib Pajak telah melunasi PPh Pasal 29, negara pada dasarnya telah menerima seluruh pajak yang seharusnya dibayar. Oleh karenanya, penagihan kembali pokok PPh Pasal 25 dengan STP dianggap tidak tepat secara substantif karena tidak mencerminkan kondisi nyata kewajiban pajak Wajib Pajak. Majelis menilai bahwa pelunasan PPh Pasal 29 menunjukkan itikad baik Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sehingga tidak ada alasan bagi negara untuk memungut kembali pokok angsuran PPh Pasal 25 yang sudah terserap dalam perhitungan pajak akhir tahun.
Putusan ini membatalkan pokok STP sebesar Rp346.776.033,00, tetapi tetap mempertahankan sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran, sebagai bentuk konsistensi terhadap aturan formal. Meski demikian, keputusan Majelis secara jelas menegaskan bahwa PPh Pasal 25 harus ditempatkan dalam konteks PPh Badan secara keseluruhan, bukan sebagai kewajiban yang berdiri terpisah dari PPh Pasal 29. Dengan demikian, penagihan pokok angsuran yang sifatnya sementara menjadi kehilangan relevansinya setelah pajak tahunan dilunasi.
Dari perspektif yang lebih luas, putusan ini memberikan kepastian hukum yang signifikan bagi para pelaku usaha. Wajib Pajak kini memiliki landasan yuridis yang kuat untuk mengajukan pembatalan pokok STP PPh Pasal 25 ketika PPh terutang tahunan sudah dibayar. Putusan ini juga memperkuat prinsip self-assessment, bahwa apa yang terpenting bukan sekadar kepatuhan formal bulanan, tetapi pemenuhan kewajiban substansial di akhir periode perpajakan.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini